Saturday 30 April 2016

Kisah Seorang Gadis Yang Dipotong Tangannya

 Dikisahkan bahwa semasa berlakunya kekurangan makanan dalam kalangan Bani Israel, maka lalulah seorang fakir menghampiri rumah seorang kaya dengan berkata, "Sedekahlah kamu kepadaku dengan sepotong roti dengan ikhlas kerana Allah S.W.T."

     Setelah fakir miskin itu berkata demikian maka keluarlah anak gadis orang kaya, lalau memberikan roti yang masih panas kepadanya. Sebaik saja gadis itu memberikan roti tersebut maka keluarlah bapa gadis tersebut yang bakhil itu terus memotong tangan kanan anak gadisnya sehingga putus. Semenjak dari peristiwa itu maka Allah S.W.T pun mengubah kehidupan orang kaya itu dengan menarik kembali harta kekayaannya sehingga dia menjadi seorang yang fakir miskin dan akhirnya dia meninggal dunia dalam keadaan yang paling hina.

     Anak gadis itu menjadi pengemis dan meminta-minta dari satu rumah ke rumah. Maka pada suatu hari anak gadis itu menghampiri rumah seorang kaya sambil meminta sedekah, maka keluarlah seorang ibu dari rumah tersebut. Ibu tersebut sangat kagum dengan kecantikannya dan mempelawa anak gadis itu masuk ke rumahnya. Ibu itu sangat tertarik dengan gadis tersebut dan dia berhajat untuk mengahwinkan anaknya dengan gadis tersebut. Maka setelah perkahwinan itu selesai, maka si ibu itu pun memberikan pakaian dan perhiasan bagi menggantikan pakaiannya.

     Pada suatu malam apabila sudah dihidang makanan malam, maka si suami hendak makan bersamanya. Oleh kerana anak gadis itu kudung tangannya dan suaminya juga tidak tahu bahwa dia itu kudung, manakala ibunya juga telah merahsiakan tentang tangan gadis tersebut. Maka apabila suaminya menyuruh dia makan, lalu dia makan dengan tangan kiri. Apabial suaminya melihat keadaan isterinya itu dia pun berkata, "Aku mendapat tahu bahwa orang fakir tidak tahu dalam tatacara harian, oleh itu makanlah dengan tangan kanan dan bukan dengan tangan kiri." 
     Setelah si suami berkata demikian, maka isterinya itu tetap makan dengan tangan kiri, walaupun suaminya berulang kali memberitahunya. Dengan tiba-tiba terdengar suara dari sebelah pintu, "Keluarkanlah tangan kananmu itu wahai hamba Allah, sesungguhnya kamu telah mendermakan sepotong roti dengan ikhlas kerana Ku, maka tidak ada halangan bagi-Ku memberikan kembali akan tangan kananmu itu."

     Setelah gadis itu mendengar suara tersebut, maka dia pun mengeluarkan tangan kanannya, dan dia mendapati tangan kanannya berada dalam keadaan asalnya, dan dia pun makan bersama suaminya dengan menggunakan tangan kanan. Hendaklah kita sentiasa menghormati tetamu kita, walaupun dia fakir miskin apabila dia telah datang ke rumah kita maka sesungguhnya dia adalah tetamu kita. Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud,

"Barangsiapa menghormati tetamu, maka sesungguhnya dia telah menghormatiku, dan barangsiapa
     menghormatiku, maka sesungguhnya dia telah memuliakan Allah S.W.T. Dan barangsiapa telah menjadi kemarahan tetamu, dia telah menjadi kemarahanku. Dan barangsiapa menjadikan kemarahanku, sesungguhnya dia telah menjadikan murka Allah S.W.T."
     Sabda Rasulullah S.A.W yang bermaksud, "Sesungguhnya tetamu itu apabila dia datang ke rumah seseorang mukmin itu, maka dia masuk bersama dengan seribu berkah dan seribu rahmat."

Subhanallah

Pelajaran :

Mari dengan membaca kisah ini kita dapat atau selalu senantiasa menghormati tamu yang datang kerumah kita dengan maksud yang baik, walau seorang pengemis yang datang kerumah kita untuk meminta..

Barangsiapa yang menghormati tamunya dan menjamunya, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan memasukkan kebaikan didalam rumah kita, yaitu rahmat dan mengeluarkan keburukan yang ada dalam rumah kita..

Semoga kisah ini bermanfaat...

Friday 29 April 2016

Walid bin Abdul Malik; Penegak Daulah Bani Umayyah

Walid bin Abdul Malik; Penegak Daulah Bani Umayyah

Walid Abdul Abbas bin Abdul Malik bin Marwan bin Hakam (705-715) lahir pada tahun 48 Hijriyah. Ia menjabat khalifah menggantikan ayahnya, Abdul Malik bin Marwan tahun 84 Hijriyah atau 705 Masehi.

Setelah menjadi khalifah, ia langsung membenahi infrastruktur fisik, pengiriman pasukan untuk memperluas wilayah dakwah dan kekuasaan Islam serta melakukan reformasi sosial. Pada 711 Masehi, Walid bin Abdul Malik mengutus satu armada laut ke Hindustan. Pasukan yang dipimpin oleh Muhammad bin Qasim itu akhirnya menaklukkan negeri Sind dan Nepal.

Walid memerintah selama 10 tahun. Panglima pasukan Islam pada zamannya, dikerahkan untuk melakukan ekspansi dakwah ke berbagai belahan dunia. Panglima Qutaibah bin Muslim diutus untuk menaklukkan negeri di seberang sungai Dajlah. Turki, Shagd, Syaas, Farghanah, hingga Bukhara, akhirnya tudnduk di bawah pemerintahan Bani Umayyah.

Di sisi lain, negeri Khurasan takluk dengan damai. Berbeda dengan Samarkand, Kashgar, Turkistan yang takluk dengan peperangan di bawah pimpinan Qutaibah bin Muslim.

Musa bin Nushair, Gubernur Afrika mengirim Thariq bin Ziyad untuk menaklukkan pulau Shamit tahun 91 H. Thariq adalah budak Musa bin Nushair yang telah dimerdekakan. Bahkan ia telah diangkat menjadi panglima perang. Dalam misinya, Thariq berhasil mengalahkan Spanyol (Ishbaniyah).

Pahlawan legendaris satu ini terkenal dengan taktiknya membangkitkan semangat pasukannya yang hampir mundur. Akhirnya, mereka tak punya pilihan kecuali maju berjihad mengalahkan Spanyol. Ia kemudian bermarkas di sebuah bukit di Spanyol yang kini dikenal dengan Jabal Thariq (Gibraltar).

Masing-masing bekas tuan dan budak itu, Musa bin Nushair dan Tariq bin Ziyad, berhasil menunaikan tugas melebarkan sayap Islam. Praktis seluruh daratan Spanyol dikuasai pasukan Muslim pada 86 H (715 M), pada masa pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik.

Penaklukan Spanyol oleh Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad memberikan pengaruh positif pada kehidupan sosial dan politik. Timbul revolusi-revolusi sosial dan kebebasan beragama semakin diakui. Kediktatoran dan penganiayaan yang biasa dilakukan oleh orang Kristen digantikan toleransi yang tinggi dan kebaikan umat Islam.

Pemerintahan Islam sangat baik dan bijak dalam menjalankan pemerintahannya. Ini membawa efek luar biasa terhadap kalangan Kristen, bahkan para pendetanya. Seorang penulis Kristen pernah berkata, “Muslim-Muslim Arab itu mengorganisir kerajaan Cordoba dengan baik. Ini sebuah keajaiban di abad pertengahan. Mereka mengenakan obor pengetahuan, peradaban, kecemerlangan dan keistimewaan bagi dunia Barat. Saat itu Eropa dalam kondisi percekcokan, kebodohan dan gelap.”

Pada saat kekuasaan Islam berkembang dan menguasai wilayah-wilayah Spanyol, Romawi, Hindustan, dan lain-lain, Khalifah Walid mengkonsentrasikan pembangunan fisik. Sarana-sarana fisik dan infrastruktur untuk kemakmuran rakyat dibangun di mana-mana.

Ia memerintahkan pembangunan sumur air di Madinah dan renovasi jalan-jalan umum. Dialah yang membangun rumah sakit pertama kali dalam sejarah Islam. Para penyandang cacat dan kaum dhuafa dilarang keluar ke tempat umum. Mereka ditempatkan di panti jompo dan para pengurusnya digaji dan difasilitasi oleh negara. Para tuna netra diberikan pembantu yang juga ditanggung negara. Negara juga memberikan gaji kepada para ahli Al-Qur’an.

Khalifah Walid juga membangun sarana rumah singgah bagi para musafir dan pendatang. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Al-Aqsha dibangun kembali oleh Walid. Ia juga memprakarsai pembangunan masjid besar di Damaskus yang dikenal dnegan Al-Jami’ Al-Umawi. Pembangunan masjid agung ini menelan biaya 11.200.000 dinar kala itu.

Tak heran bila Adz-Dzahabi mengatakan, Walid bin Abdul Malik telah menegakkan jihad dan melakukan penaklukan di negeri-negeri seperti yang dilakukan Umar bin Al-Khathab. Seorang sejarawan juga pernah berujar, “Jika Muawiyah yang mendirikan negara Bani Umayyah, maka Walid bin Abdul Malik yang menegakkannya sampai teguh.”

Walid bin Abdul Malik meninggal tahun 96 Hijriyah di Damaskus. Kekhalifahan digantikan oleh saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik.

Repulika.co

Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, Istri Khalifah Yang Barsahaja

Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, Istri Khalifah Yang Barsahaja

Mujahidah: Fatimah binti Abdul Malik, Istri Khalifah yang Bersahaja

Beruntung Umar bin Abdul Aziz Al-Umawi menikahi Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, sosok perempuan yang nyaris sempurna. Dia cantik, cerdas, keturunan terpandang, kaya raya, serta taat beribadah.

Pasangan ini dikaruniai seorang putra yang diberi nama Abdul Malik bin Umar. Sebagai suami yang bertanggung jawab, Umar berusaha memenuhi keinginan istri dan anaknya. Namun, Fatimah telah memiliki harta dan perhiasan yang melimpah pemberian dari ayahnya. 

Kekayaan keluarga ini menjadi ‘masalah’ ketika Umar yang tidak lain cicit Khalifah Umar bin Khathab ini didaulat sebagai pejabat pemerintah. Dia menyadari sebagai khalifah memiliki beban yang sangat berat, terutama godaan harta.

Karenanya sebelum memegang amanah, dia mengajak Fatimah mengurangi beban hidupnya dengan cara menyerahkan semua harta, berikut perhiasan yang dimiliki Fatimah ke Baitul Mal.

Selanjutnya, Umar mengajukan dua pilihan kepada istrinya. Jika Fatimah setuju dengan usulan tersebut, keluarga ini bisa melanjutkan biduk rumah tangga. Sebaliknya, kata Umar, “Jika kamu tidak setuju dengan usulan ini, maka kita tidak akan pernah lagi bersama dalam satu rumah.”

Tanpa berpikir panjang, Fatimah menyetujui usulan suaminya. Dia menyadari harta yang melimpah hanya menjadi beban bagi suaminya. Lalu dia mengumpulkan harta, dan perhiasannya untuk diserahkan ke Baitul Mal.

Dia ikhlas hidup bersama suaminya sebagai pejabat, namun tidak memiliki harta apa pun. Padahal, saat itu Umar sebagai khalifah besar memimpin Bani Ummayah yang wilayah kekuasaannya sangat luas.

Suami Fatimah ini dibaiat sebagai khalifah setelah shalat Jumat tahun 717 M. Menurut riwayat, kebijakan-kebijakan Umar selalu berpihak kepada masyarakat, dan berhasil memulihkan keadaan negara seperti masa empat khalifah Khulafaur Rasyidin.

Selama menjadi khalifah, gaji Umar sangat minim, hanya dua dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Sebagai istri, Fatimah tidak pernah protes, apalagi menuntut lebih penghasilan suaminya. Dia ikhlas dan selalu mendukung suaminya.

Kesederhanaan dan kebijakan Umar membuat banyak kalangan menyematkan ‘gelar’ sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.

Sayangnya, kepemimpinan khalifah yang saleh, adil dan sederhana ini tidak berlangsung lama. Kurang dari tiga tahun memimpin Bani Umayah, sang khalifah meninggal dunia dibunuh melalui racun yang diberikan pembantunya.

Ketika Umar bin Abdul Azis meninggal, ia tidak meninggalkan harta apa pun untuk Fatimah dan anaknya.

Sepeninggal Umar, estafet Dinasti Ummayah dilanjutkan oleh saudara Fatimah bernama Yazid bin Abdul Malik.

Saat itu, Yazid menemui Fatimah untuk mengembalikan harta-harta yang disimpan di Baitul Mal. “Umar telah zalim pada hartamu, sekarang aku kembalikan kepadamu. Ambillah!” kata Yazid kepada adiknya.

Bendahara Baitul Mal pun pernah menemui istri Umar bin Abdul Aziz, menjelaskan bahwa perhiasan dan harta milik Fatimah masih utuh tersimpan. “Kami menganggap perhiasan-perhiasan itu sebagai barang titipan yang harus dijaga, dan akan kami kembalikan jika tuan membutuhkan.”

Bendahara Baitul Mal itu akan segera membawa harta perhiasan milik Fatimah, jika pemiliknya ingin menerima kembali hartanya. Nilai perhiasaan milik Fatimah saat itu mencapai jutaan dirham. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran-tawaran itu?

Apalagi suaminya meninggal tanpa warisan yang mencukupi. Bukankah harta yang dititipkan ke Baitul Mal adalah perhiasan milik Fatimah dari ayahnya, maupun pemberian suaminya.

Namun Fatimah menolak semua tawaran itu. “Demi Allah, aku tidak akan mengambilnya kembali. Karena aku patuh kepada suami untuk selamanya. Bukan ketika dia masih hidup aku patuh, lalu setelah meninggal berkhianat,” ujar Fatimah.

Yazid takjub dengan sikap saudara perempuannya itu. Lalu dia mengambil kembali harta-harta Fatimah dan membagikan kepada orang-orang yang berhak.

Sikap Fatimah yang kaya beramal ini menempatkan namanya sebagai perempuan salehah yang taat kepada suami.

Dia juga dicatat sebagai istri pemimpin yang sederhana, dan selalu mendahulukan kepentingan umat.

Andaikan istri para pemimpin dan pejabat memiliki sifat sederhana seperti Fatimah, niscaya perilaku korup dan hidup bermewahan dapat diminimalkan.

Masa muda Fatimah penuh dengan kesenangan. Dia menyukai sastra, dan memiliki wawasan sangat luas. Kekayaannya melimpah, karena dia putri seorang khalifah besar di masa Bani Ummayah.

Saat itu, kekuasaan yang dipegang ayahnya sangat luas meliputi negeri Syam, Irak, Yaman, Iran, sampai ke arah timur. Kekuasaannya meluas hingga ke Mesir, Sudan, Aljazair, Tunisia hingga Spanyol.

Fatimah memiliki empat saudara pria yang semuanya menjadi khalifah Islam, yaitu Khalifah Al-Walid, Khalifah Sulaiman, Khalifah Yazid, dan Khalifah Hisyam.

Ketika menikah dengan Umar bin Abdul Aziz, Fatimah dibekali ayahnya banyak perhiasan. Di antaranya anting-anting yang diberi nama anting Mariah sebagai sumber inspirasi para penyair dalam menggubah lagu di zaman itu.

Ketika menjadi istri khalifah, sebenarnya kemewahan dan harta yang dimiliki Fatimah bisa lebih melimpah lagi. Namun, ia tidak mau memanfaatkan jabatan suaminya. Dia memilih hidup sederhana daripada menjadi budak nafsu kemewahan dunia.

Dia sadar, harta dan kekayaan bagaikan air garam. Semakin diminum, akan semakin haus, merasa kurang dan kurang terus. Umar pun bangga terhadap sikap istrinya ini. Jangankan menyuruh suaminya korupsi, uang belanja sehari-hari yang diberikan hanya beberapa dirham selalu dibilang cukup.

Sikap sederhana dan keikhlasan Fatimah membuat Umar tenang bekerja memimpin pemerintahan. Fatimah yang cerdas selalu mendukung program kerja suaminya yang selalu memikirkan kesejahteraan umat.

Maksud Umar ketika menyimpan harta dan perhiasan istrinya di Baitul Mal tidak lain untuk kepentingan rakyat. Jika kondisi mendesak, harta-harta tersebut bisa dijual, lalu uangnya digunakan untuk keperluan masyarakat miskin.


Source: republika.co.id
Sultan Salim I Penyelamat Daulah Utsmaniyah

Sultan Salim I Penyelamat Daulah Utsmaniyah

Sultan Salim I Penyelamat Daulah Utsmaniyah

Sultan Salim I Penyelamat Daulah Utsmaniyah
ilustrasi: Pasukan Sultan Salim I
Oleh: Zainal Mutaqin

KAGUM dan rindu,  itulah perasaan yang saya ketika membaca sekilas sembilan  tahun kepemimpinan seorang Sultan Salim I, cucu penakluk Konstatinopel Muhammad Al-Fatih yang menghabiskan waktunya di atas kuda mengembalikan Negara-Negara Islam yang direbut Pasukan Salib dan dari pasukan Syiah Safawiyah dikala kepemimpinan bapaknya Sultan Bayazid  sedang lemah.
Keadaan genting ini diperparah oleh kerjasama Daulah Safawiyah yang berhaluan Syiah yang dipimpin Ismail as Safawi  dengan kerajaan Kristen dan  Alfonso de Albuquerque pemimpin pasukan laut Portugal    untuk menghilangkan  Daulah Utsmaniyah dari peta dunia setelah jatuhnya Islam di Andalusia  dan rencana jahat mereka untuk menggali makam RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Tahun 913 H/1507 M Ismail As Safawi menginvasi kerajaan kecil Dzil Qadariyah yang ada dibawah Turki Utsmani karena ketamakannya  dan dendam karena   lamarannya untuk putri Raja Dzil Qadariyah Bozkort Beik ditolak. Di kota itu Ia menghancurkan kuburan ulama-ulama Sunni dan membakar sisa tulang belulangnya.
Kemarahan Salim I memuncak ketika mengetahui kejahatan Ismail As Safawi itu. Ia menyiapkan 100.000 tentara yang langsung ia pimpin sendiri ditemani anaknya yang masih berusia 12 tahun Sulaiman Al-Qanuni menuju ibu kota Daulah safawiyah Tabriz, meskipun tanpa restu dari bapaknya Sultan Bayazid dan penasihat istana.
Penyebabnya kehawatiran Sultan Bayazid akan jarak yang  jauh, matahari yang terik, dan musuh yang penuh tipu muslihat.  Namun Sultan Salim muda  tidak bergeming, ia berangkat dengan pasukannya.
Mengetahui Pasukan Turki Utsmani  telah bergerak dengan 100.000 tentaranya, Ismail As Safawi –seperti karakter penganut Safawi licik– membakar pepohonan yang menyediakan bahan makanan  yang tumbuh di sepanjang jalan yang dilalui pasukan Sultan Salim I agar pasukan muslimin kelelahan dan kelaparan sebelum perang. Mereka  lalu melakukan manuver-manuver lainnya dari berbagai arah mengulur waktu untuk menghabiskan energi pasukan Islam.
Maka tepat pada tanggal  2 Rajab 920 H/23 Agustus 1514 M. Sekali lagi ingat baik-baik tanggal dan tahun  ini. Inilah peristiwa Perang Chaldiran (Battle of Chaldiran), peperangan pasukan Muslimin dengan pasukan Syiah Safawiyah.
Peperangan yang tidak seimbang ini demenangi oleh pasukan Sultan Salim I, pasukan Syiah Safawiyah terdesak, tercerai-berai, dan melarikan diri, termasuk  pemimpin mereka Ismail as Safawi, setelah kaki dan tangannya terluka ia mengganti baju dengan pakaian tentaranya untuk mengelabui pasukan muslim sehingga selamat dari kematian.
Dengan lantunan takbir, lembah Chaldiran menjadi saksi sujud syukur Sultan Salim I atas pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala.
Belum basah darah yang menempel di pakaian pasukan Muslimin , mereka melanjutkan perjalanan ke Kota Tabriz yang merupakan Ibu Kota Daulah Safawiyah dimana Ismail as Safawi melarikan diri kesana. Begitulah karakter Sultan Salim I yang tak kenal kata “lelah” dalam kamus hidupnya.
Amanah memimpin kaum Muslimin selama 9 tahun ia habiskan diatas kuda menyelamatkan Negara-Negara Islam yang terjajah baik oleh Syiah atau pasukan Kristen dengan membawa putra mahkota yang masih belia usia 12 tahun yang nantinya mewarisi tahta selama 46 tahun dengan segudang jasanya untuk umat Islam.
Mengetahui kedatangan pasukan Sultan Salim I, Ismail As Safawi melarikan diri karena takut kepalanya dipenggal meninggalkan istri- istri dan anak-anaknya di belakangnya. Bersembunyi di sebuah kota bernama Khoy.
Tepat hari Jum’at, 8 Tajab tahun 920 H, pasukan Muslimin menguasai Kota Tabriz. Adzan dilantunkan dan sholat Jum’at pertama kali dilaksanakan setelah Syiah menghapus ritual wajib itu dari masyarakat Sunni di sana.
Setelah itu beliau tidak pernah istirahat, selalu ada di atas kudanya selama sembilan tahun dari satu perang ke perang lainnya  untuk menyatuka kembali negeri- negeri Islam yang tercerai berai dan dari rencana busuk kaum Safawiyah yang bekerja sama dengan pasukan Kristen Eropa untuk menggali dan memindahkan makam RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wassallam.  Tidak heran jika  sejarawan menyebutnya sebagai penyelamat Daulah Utsmaniyah.
Allah menghendaki lain, ketika tubuh sang pemberani itu dihinggapi penyakit disebabkan kelelahan karena terlalu banyak melakukan perjalanan, jihad  dan  terik matahari. Sudah saatnya ia turun dari kudanya dan mereguk manisnya balasan dari yang maha kuasa atas perjuangannya.
Maka tepat tanggal 9 Syawal 926 H, penyelamat kubur Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam ini menemui Sang Khaliq dengan menghadiahkan anaknya Sulaiman Al-Qanuni untuk umat Islam yang telah ia didik dalam perjalanan yang panjang di atas punggung kudanya, tentang betapa pentingnya Islam dan Muslimin.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa merahmatimu wahai Sultan Salim I. Semoga kisahmua menjadi teladan bagi kita generasi yang  lemah ini. Amin.*
Penulis anggota MIUMI Batam. Sumber sebagian ringkasan Kisah Sultan Salim I 100, Min Udzamil Islam

Sumber: hidayatullah.com
Sultan Sulaiman Al-Qonuni dan Semut Istana

Sultan Sulaiman Al-Qonuni dan Semut Istana

Sultan Sulaiman Al-Qanuni dan Semut Istana

Sultan Sulaiman Al-Qanuni dan Semut Istana
WWW.ANCIENT-ORIGINS.NET
Sultan Sulaiman al Qanuni
Oleh : Zainal Mutaqin

SULTAN Sulaiman Al-Qanuni adalah sultan Turki Utsmani yang paling lama memerintah diantara para sultan-sultan lainnya. Ia bertahta selama 46 tahun dengan prestasi yang luar biasa. Salah satu jasanya adalah memperkuat peraturan (Qanun) Daulah Turki Utsmani (Ottoman)  dengan mengadaptasi  dari Al-Qur’an dan as Sunnah.  Karena jasanya itulah ia dijuluki Al-Qanuni.
Tayangan Film “KING SULAIMAN” yang sempat tayang di salah satu TV swasta di Indonesia -padahal presiden Turki Erdogan sudah melarangnya tayang di stasiun TV di Turki – sempat menjadi polemik  karena menggambarkan seorang  Sultan Sulaiman yang tergila-gila dengan tahta, mempunyai banyak selir , dan tenggelam hidupnya dalam kelezatan  dunia. Cukuplah sebagai bukti bahwa beliau seorang yang sholeh, alim, dan zuhud adalah delapan Mushaf Al-Qur’an yang beliau tulis dengan tangannya sendiri .
Ia dikenal beramal sholeh, banyak berpuasa, qiyamul lail, dan keadilannya terhadap masyarakat, termasuk kepada semut sekalipun. Perhatikanlah bagaimana ia mengakhiri hidupnya , karena akhir kematian sesorang adalah akumulasi dari  kehidupannya.
Ketika ia mendengar salah satu Negara bagian kekuasaan Ottoman mendapatkan serangan dari raja Austria , maka ia memutuskan langsung  ekspansi ke jantung Austria Kota Wina (Ibu Kota Austria) sedangkan ia dalam keadaan sakit keras, para dokter istana menasihatinya agar ia mengurungkan niatnya untuk memimpin sendiri demi kesehatannya , namun Al-Qanuni menolaknya seraya berkata :
“إنني لأرجو الله أن أستشهد في ساحات الجهاد غازيًا في سبيله”
“Sungguh aku berharap mati Syahid di medan jihad.”
Maka tak ada pilihan lain kecuali mengikuti titah Sang Sultan, tentara memikul Al-Qanuni ke medan jihad karena ia nyaris tak bisa bergerak karena sakit keras.
Ketika pasukan Muslimin sampai ke Benteng  Szigetvar (sekarang di Hungaria) yang merupakan salah satu benteng terkuat di dunia saat itu, berkecamuklah perang antara kaum muslimin dengan pasukan Kristen. Kokohnya Benteng Szigetvar nyaris membuat tentara islam putus asa setelah berperang selama 5 bulan. Dalam suasana putus asa para tentara itu terdengar lantunan do’a Sultan Sulaiman Al-Qanuni agar Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.
Kemudian para tentara Islam mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menguasai benteng itu, dengan izin AllahSubhanahu Wata’ala dan semangat jihad yang tulus pasukan Islam akhirnya mampu memenagkan pertempuran dan menguasai Benteng Szigetvar yang legendaris itu.
Ketika Sultan Sulaiman Al-Qanuni mendengar kabar bahwa benteng sudah ditaklukan dan bendera Islam sudah berkibar di atasnya beliau berkata ;
، الآن طاب الموت ”  (Sekaranglah saatnya kematian yang menyenagkan itu datang). (100 Min udzamil Islam episode 8)
Kemudian suara itu hilang pelan-pelan dan sang Sultan “The Magnificent” Sulaiman meninggal ditempat dan susasan yang ia cintai,yaitu  Jihad Fi Sabilillah!
Ketika berita kematian Sultan Sulaiman sampai kepada Muslimin, maka seluruh penjuru Negara Islam  dihujani tangisan kesedihan, bukan karena tidak menerima ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala, tapi karena cinta itu sudah memenuhi  jiwa mereka selama 46 tahun.
Suasana berbeda terjadi di Barat, mereka bersuka ria atas kematian  Sultan yang mereka sendiri memberikan julukan “The Magnificent”  atau sang fenomenal  kepadanya, lonceng-lonceng dibunyikan, dan mereka jadikan hari itu hari bersejarah buat mereka.
Di tengah-tengah pemakaman Sultan sulaiman, terdegar wasiat bahwa sebelum kematiannya beliau meminta dikuburkan dengan sebuah kotak yang terkunci miliknya, keluarga dan orang terdekatnya tidak berani membuka apa isi kotak itu gerangan.
Para ulama khawatir jika yang ada dalam kotak itu adalah intan berlian yang haram dikubur bersama jasad mayat, maka akhirlah sepakatlah para ulama untuk membuka kotak itu.
Setelah dibuka, ternyata yang ada dalam kotak itu adalah kumpulan kertas-kertas usang yang merupakan fatwa-fatwa para mufti dan ulama, karena ia dikenal tidak berani membuat suatu pelaturan kecuali meminta fatwa dari para mufti daulah dan para ulama.
Salah satu fatwa yang ada dalam kotak tersebut adalah permintaan Sultan Sulaiman kepada Mufti Daulah Utsmaniyah saat itu  Abi Sa’ud Afandi untuk menjelaskan tentang hukum meletakan kapur di ranting-ranting pohon di istana kekhalifahan agar semut tidak masuk, menyebar dan mengotori istana. Kapur-kapur ini bisa jadi membunuh semut-semut itu.
Maka Abi Sa’ud Afandi saat itu memfatwakan bolehnya pemakaian kapur itu agar semut-semut tidak menyebar ke Istana.
Setelah membaca lembaran fatwa itu Mufti Abi Sa’ud Afandi menangis tersedu-sedu seraya berkata:
“أنقذت نفسك يا سليمان،أنقذت نفسك يا سليمان، أي سماء تظلنا وأي أرض تقلنا إن كنا مخطئين في فتيانا”.
“Engkau telah menyelamatkan dirimu Wahai Sulaiman, Engkau telah menyelamatkan dirimu Wahai Sulaiman, langit yang mana yang akan menaungiku? Dan bumi yang mana yang menerima kami semua  jika kami  salah dalam fatwa –fatwa kami?”
Itulah  sosok sultan yang sholeh. Maka  bagaimana bisa orang-orang mengatakan dia dituduh tenggelam dalam eforia harta dan wanita?*
Penulis adalah anggota MIUMI Batam. Bahan diambil dari 100 Min Udzamail Islam, eps 8

Sumber: hidayatullah.com